TASAWWUF MODERN HAMKA FANSURI

TASAWWUF MODERN HAMKA FANSURI



TUGAS

Untuk Memenuhi Mata Kuliah

BAHASA INDONESIAUIN_SUNAN_AMPEL
 UIN_SUNAN_AMPEL.jpg (874×921)


Dosen Pengajar:

Drs.H.Fadjrul Hakam Chozin MM


Disusun oleh :

M.Achmad Syaiful Rizal E03214010










Jurusan Tafsir dan Hadist
FAKULTAS USHULUDDIN
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Tahun Akademik 2014

KATA PENGANTAR




            Dengan menyebut nama Allah yang maha penyayang yang telah mengabulkan do’a kami sehingga makalah ini terselesaikan tepat pada waktunya. Meskipun kami menyadari masih banyak terdapat kesalahan. Ucapan terimakasih selanjutnya kami tujukan kesemua pihak yang telah membantu didalam proses jalannya pembuatan makalh ini hingga selesai
            Tujuan utama pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok Mata Kuliah Akhlak Tasawuf  pada semester I, selain itu juga bertujuan sebagai bacaan bagi para pembaca agar bisa menjadi referensi yang berguna.
            Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan yang dapat mengurangi nilai baca makalah ini. Untuk itu kami selaku penulis mengharap kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, demi terciptanya makalah lebih baik pada pembuatan selanjutnya.

Surabaya, 16 Oktober 2014
Penyusun


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ...................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah ................................................................................. 1
C.     Tujuan ................................................................................................... 1
BAB II. PEMBAHASAN
A.    Biografi HAMKA ................................................................................. 2
B.     Tasawuf Menurut Pemikiran  HAMKA ............................................... 3
C.     Konsep-Konsep Tasawuf HAMKA  .................................................... 5
BAB III. PENUTUP
Kesimpulan ............................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 15















BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Awal kemunculan tasawuf adalah sebagai salah satu upaya memperbaiki budi pekerti manusia. Namun dalam perkembangannya hal ini terus mengalami penyimpangan. Tasawuf dewasa in sering dikaitkan dengan bentuk-bentuk bid’ah.
Hamka yang lahir dari pergerakan kaum modernis yang berafiliasi dalam gerakan muhammadiyah, dimana dalam faham keagamaannya organisasi ini menentang praktek-praktek tasawuf pada umumnya. Sehingga HAMKA yang membawa konsep baru dalam  dunia tasawuf. Walaupun beliau bukan sufi yang menjalani perjalanan ruhani, namun beliau telah menjadikan tasawuf jalan untuk mendekatkan diri pada Allah yang ajarannya kemudian beliau kontekstualisasikan dengan kondisi umat saat ini. Hamka mendasarkan konsep tasawufnya ini pada kerangka agama dibawah pondasi aqidah yang bersih dari praktek-praktek kesyirikan, dan amalan-amalan lain yang bertentangan dengan syari’at.

B.     Rumusan Masalah

1.      Siapakah HAMKA?
2.      Bagaimana tasawuf menurut pemikiran HAMKA?
3.      Bagaimana pendapat  HAMKA tentang ilmu tasawuf?
4.      Ada berapa konsep-konsep tasawuf HAMKA?

C.    Tujuan Penilitian

1.      Mengetahui biografi HAMKA
2.      Mengetahui tasawuf pemikiran HAMKA.
3.      Mengetahui pendapat HAMKA tentang ilmu tasawuf.
4.      Mengetahui konsep-konsep tasawuf HAMKA.




BAB II
PEMBAHASAN


1.      Biografi HAMKA

Nama lengkap Hamka adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah (16 Februarui 1908 – 24 Juli 1981 M). Ia dilahirkan di desa Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat. Dalam sejarah nasional, daerah Maninjau merupakan tempat di mana dilahirkan tokoh-tokoh politik, ekonomi, pendidikan dan pergerakan Islam seperti Mohammad Natsir, A.R Sutan Mansyur, Rasuna Said, dan lain-lain.
Dilihat dari nasab keturunannya, Hamka adalah keturunan tokoh-tokoh ulama Minangkabau yang tidak semuanya memiliki faham keislaman yang sama, baik itu dalam masalah furû’ maupun ushûl. Kakek Hamka sendiri, Syaikh Muhammad Amrullah adalah penganut tarekat mu’tabarah Naqsabandiyah yang sangat disegani dan dihormati bahkan dipercaya memiliki kekeramatan dan disebut-sebut sebagai wali. Kerapkali masyarakat setempat mencari berkah melalui sisa makanan, sisa minuman atau sisa air wudhu dan sebagainya. Syaikh Muhammad Amrullah mengikuti jejak ayahnya Tuanku Syaikh Pariaman dan saudaranya Tuanku Syaikh Gubug Katur. Ia pernah berguru di Makkah dengan Sayyid Zaini, Syaikh Muhammad Hasbullah, bahkan ikut belajar kepada mereka yang lebih muda seperti Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Taher Jalaludin. Akan tetapi ayah Hamka, Syaikh Abdul Karim Amrullah (lahir 17 Shafar 1296 H/16 Februari 1879) yang biasa dipanggil dengan sebutan Haji Rasul, memiliki pemahaman yang berbeda dengan pendahulunya. Meskipun sama-sama belajar di Makkah, Haji Rasul terkenal sangat menolak praktek-praktek ibadah yang pernah dilakukan dan di da’wahkan ayah dan kakeknya.
Ia terkenal sebagai tokoh pembaharu (al-tajdîd). Dalam kondisi dan situasi yang penuh dengan pertentangan antara kaum muda dan kaum tua itulah Hamka dilahirkan dan melihat sendiri sepak terjang yang dilakukan ayahnya. Situasi itu agaknya memiliki persamaan sabagaimana yang pernah terjadi di akhir tahun 1910 di kota Surabaya antara kaum muda dan kaum tua (Kaum tua dipimpin oleh Kiai Wahab Hasbullah dan kaum muda dikomandoi oleh Kiai Haji Mas Mansyur, Ahmad Syurkati, dan Fakih Hasjim). Pada kenyataannya, Hamka sendiri banyak mengikuti cara berfikir ayahnya dalam memahami pokok-pokok agama Islam, meskipun berbeda dalam sisi pendekatan. Haji Rasul keras, sementar Hamka lebih santun.

2.      Tasawuf menurut Pemikiran HAMKA


Di dalam literatur Hamka, ia tidak menggunakan istilah Tazkiyatun Nafs sebagaimana yang sering dipakai sebagian ulama untuk merujuk kepada model penyucian jiwa di dalam Islam . Akan tetapi, jika dilihat dari misi dan definisi yang disebutkan Hamka melalui istilah tasawuf, maka kita akan menemukan kesamaan maksud. Dalam mendefinisikan istilah tasawuf Hamka menyebutnya sebagai ‘ilmu’. Artinya, Hamka menilai bahwa tasawuf adalah sebuah disiplin ilmu yang telah mapan di dalam kajian Islam. Dalam buku Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, Hamka menjelaskan bahwa tasawuf adalah Shifâ’ul Qalbi, artinya membersihkan hati, pembersihan budi pekerti dari perangai-perangai yang tercela, lalu memperhias diri dengan perangai yang terpuji. Dalam buku Tasawuf Modern, tasawuf adalah membersihkan jiwa, mendidik dan mempertinggi derajat budi, menekan segala kelobaan dan kerakusan, memerangi sahwat yang terlebih dari keperluan untuk keperluan diri”. Sedangkan dalam buku Tasawuf tradisional, Hamka mendefinisikan tasawuf sebagai, “Orang yang membersihkan jiwa dari pengaruh benda dan alam, supaya dia mudah menuju Tuhan”.
Dari definisi yang dijelaskan di atas dapatlah kita melihat kesamaan misi antara Tazkiyatun Nafs dan tasawuf, dimana keduanya menginginkan sebuah upaya yang satu, yaitu pembersihan diri atau jiwa seseorang dari perangai buruk dan dosa yang dianggap buruk oleh syari’at Islam[1]. Oleh sebab itulah, paparan di atas sejalan dengan apa yang dijelaskan Hamka ketika menafsirkan QS. Asy-Syams ayat 9-10:   دَسَّاهَا مَن خَابَ وَقَدْ  زَكَّاهَا مَنْ أَفْلَحَ قَدْ
Artinya : sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotori-nya. (QS.91:9-10).[2]
 Dalam Tafsir al Azhar: 9-10,“Sungguh beruntung orang yang mensucikan (jiwa itu). Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya”. Menurutnya, penyakit yang berbahaya bagi jiwa ialah mempersekutukan Allah dengan yang lainnya. Termasuk juga mendustakan kebenaran yang dibawa oleh Rasul, atau memiliki sifat hasud, dengki kepada sesama manusia, benci, dendam, sombong, angkuh dan lain-lain. Maka seseorang yang beriman hendaknya mengusahakan pembersihan jiwa dari luar dan dalam, dan janganlah mengotorinya. Sebab menurut beliau kekotoran itulah yang justru akan membuka segala pintu kepada berbagai kejahatan besar.
Penghayatan tasawufnya berupa pengamalan taqwa yang dinamis, bukan keinginan untuk bersatu dengan Tuhan (unitive state), dan refleksi tasawufnya berupa penampakan semakin tingginya semangat dan nilai kepekaan social-religius (sosial keagamaan), bukan karena ingin mendapatkan karâmah (kekeramatan) yang bersifat magis, metafisis dan yang sebangsanya. Keberadaan tasawuf yang difahami adalah semata-mata hendak menegakkan prilaku dan budi manusia yang sesuai dengan karakter Islam yang seimbang atau menurut bahasa Hamka.
Untuk itulah, manusia dalam prosesnya mesti mengusahakan benar-benar ke arah terbentuknya budi pekerti yang baik, terhindar dari kejahatan dan penyakit jiwa atau penyakit batin. Beliau juga menegaskan, “Budi pekerti jahat adalah penyakit jiwa, penyakit batin, penyakit hati. Penyakit ini lebih berbahaya dari penyakit jasmani. Karena  ia lebih berbahaya dari penyakit badan. Dokter mengobati penyakit jasmani menurut syarat-syarat kesehatan. Sakit itu hanya kehilangan hidup yang fana. Oleh sebab itu hendaklah dia utamakan menjaga penyakit yang hendak menimpa jiwa,yaitu penyakit yang akan menghilangkan hidup yang kekal itu”.  Membersihkan diri dan melatihnya dengan berbagai macam latihan (riyâdhah al-nafs), sehingga kian lama kian terbukalah selubung diri dan timbullah cahaya yang gemilang”. Maka menurutnya kehidupan bertasawuf tidaklah seperti yang digambarkan oleh para sufi pada umumnya, hingga melemahnya gerak manusia. Dalam membangun hidup bertasawuf, beliau melandasinya dengan kekuatan Aqidah. Sebab dengan kekuatan inilah, perjalanan tasawuf akan terhindar dari bentuk-bentuk kemusyrikan yang sering kali terjadi pada seorang sufi.

3.      Konsep-Konsep Tasawuf HAMKA


a.         Konsep Hawa Nafsu

Al Qur’an menyebutkan kata hawâ dalam berbagai bentuk mencapai jumlah 36 kali, yang sebagian besarnya mengarah kepada perbuatan negatif. Beberapa contoh di antaranya adalah :
  A.Perbuatan orang zalim yang mengikuti hawa nafsu: نَاصِرِينَ مِنْ لَهُمْ وَمَا اللَّه  أَضَلَّ مَنْ يَهْدِي فَمَنْ عِلْمٍ بِغَيْرِ أَهْوَاءَهُمْ ظَلَمُوا الَّذِينَ اتَّبَعَ بَلِ
      Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah) tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS. Ar Rum: 29).

              B.Perbuatan orang sesat mengikuti hawa nafsu:
          

غَيْرَ الْحَقِّ وَلا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ -
. السَّبِيلِ سَوَاءِ عَنْ
Artinya: Katakanlah (Muhammad), "Wahai Ahli Kitab! Janganlah    kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara yang tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti keinginan orang-orang yang telah tersesat dahulu dan (telah) menyesatkan banyak (manusia),dan mereka sendiri tersesat dari jalan yang lurus.(QS:Al Ma’idah:77)

 C.Perbuatan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Tuhan:

يَعْدِلُونَ بِرَبِّهِمْوَهُمْ بِالآخِرَةِ  نَيُؤْمِنُولانَوَالَّذِينَ بِآيَاتِنَاكَذَّبُوا الَّذِينَ أَهْوَاءَ تَتَّبِعْوَل مَعَهُمْ تَشْهَدْفَل شَهِدُوا فَإِنْ هَذَا حَرَّمَ اللَّهَ أَنَّ يَشْهَدُونَ الَّذِينَ شُهَدَاءَكُمُ هَلُمَّ قُلْ
            Artinya: Katakanlah: "Bawalah ke mari saksi-saksi kamu yang dapat mempersaksikan bahwasanya Allah telah mengharamkan (makanan yang kamu) haramkan ini." Jika mereka mempersaksikan, maka janganlah kamu ikut (pula) menjadi saksi bersama mereka; dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, sedang mereka mempersekutukan Tuhan mereka.  (QS. Al An’am: 150).
D.Perbuatan orang yang tidak berilmu: يَعْلَمُونَ لا الَّذينَ ءَ أَهْوا‏ تَتَّبِعْ وَلاتَّبِعْهافَا الْأَمْرِ‏ مِنَ شَريعَةٍ عَلى جَعَلْناكَ ثُمَّ
     Artinya : Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat untuk urusan (agama yang benar). Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS. Al Jatsiyah: 18).
Sementara itu, Hamka memberi arti etimologis dengan; angin atau gelora yang tidak berasal. Dengan demikian, hawa yang sering bergabung dengan kata nafsu, memang memiliki kecenderungan yang negatif[3]. Al Raghib al Isfahani mengartikan hawâ sebagai kecenderungan nafsu kepada syahwat. Dan menurutnya, kata hawâ dalam bahasa al Qur’an sering bermakna turun, dari atas ke bawah dan berkonotasai negatif. Menurutnya lagi, penyebutan kata hawa menyebutkan pemiliknya akan jatuh ke dalam keruetan hidup ketika menjalani dunianya, dan di akhirat ia akan dimasukkan ke dalam neraka hawiyah.
Komponen dalam diri manusia yang dapat dijadikan sebagai lawan tanding dari pada hawâ adalah akal , demikian menurut Hamka[4]. Menurutnya pula ahwa (hawâ) membawa sesat dan tidak berpedoman, sementara akal menjadi pedoman menuju keutamaan. Dalam sebuah nasihatnya, Hamka mengatakan; “Hawa berakibat bahaya, tetapi jalannya amat mudah oleh hati. Sebab itu, jika kita menghadapai dua perkara, hendaklah dipilih barang yang sukar mengerjakannya tetapi akibatnya baik. Jangan barang yang diingini hawa nafsu, karena akibatnya buruk. Dan kebanyakan barang yang baik itu susah dikerjakan.
Demikian halnya Hamka berpendapat bahwa al Qur’an semenjak diturunkannya kepada manusia, sudah mulai mengajak kita berargumentasi dengan akal yang bersih dalam menghadapi fenomena-fenomena hidup. Sebagaimana Hamka menjelaskan; “Takkala kitab suci al Qur’an mengajak manusia kepada Islam, dan mengikut suruhnya serta menghentikan larangnnya, dimasuk lebih dulu melalui pintu akal. Kalau terdapat bantahan dan keengkaran, disuruh terlebih dahulu mereka itu berfikir, mempergunakan akalnya yang suci bersih. Perkataan-perkataan yang penting (di dalam al Qur’an) ditutup dengan penghargaan akal. Oleh karena itulah, Hamka kemudian berpendapat bahwa kata hawâ tidak semuanya berkonotasi negatif. Ada hawa yang terpuji dan ada juga hawa yang tercela. Yang terpuji ialah pemberian Allah yang dianugerahkan kepada manusia, supaya ia dapat membangkitkan kehendak mempertahankan diri dan hidup menangkis bahaya yang akan menimpa, berikhtiar mencari makan dan minum serta kediaman. Hawalah yang mendorongnya. Demikian ungkap Hamka.
Kepentingan menahan hawa nafsu adalah untuk mewujudkan manusia yang berbudi luhur. Dalam rangka menyikapi hawa nafsu tersebut, Hamka dalam bukunya “Akhaqul Karimah” kembali menekankan tentang pentingnya mujahâdah atau riyâdhah diri, yaitu membiasakan akhlaq dan budi baik agar nantinya dapat menggeser keburukan budi yang sebelumnya ada dalam hati serta menjadi penyakit bagi jiwa.

b.         Konsep Ikhlas

Memaknakan tentang ikhlas, Hamka memulai dengan defnisi ikhlas itu sendiri. Ikhlas menurut Hamka dari segi arti bahasa adalah; bersih, tidak ada campuran, ibarat emas tulen, tidak ada campuran perak berapa persenpun[5]. Dan pekerjaan yang bersih terhadap sesuatu dinamakan al ikhlâs. Misalnya, seseorang yang mengerjakan sesuatu perkerjaan semata-mata kerena mengharap puji dari majikan, maka ikhlas amalannya itu karena majikan dan untuk majikan tersebut. Atau seseorang yang memburu harta dari pagi hingga sore dengan tidak bosan-bosan karena semata-mata memikirkan perut, maka ikhlasnya itu ditujukan kepada perutnya. Demikian permisalan yang Hamka terangkan. Demikian halnya dengan Sa’id Hawwa, ia juga menjelaskan jika sesuatu itu bersih dan terhindar dari kotoran, maka itu dinamakan khôlis (yang bersih). Sementara pekerjaan membersihkannya disebut al ikhlâs. Sa’id Hawwa mengartikan orang yang ikhlas adalah mereka yang tidak ada motivasi yang membangkitkannya kecuali motivasi bertaqarrub kepada Allah saja.
c.         Konsep Khauf
Menurut Hamka, Khauf merupakan rasa takut yang timbul karena adanya azab, siksa dan kemurkaan dari Allah[6]. Oleh sebab itu diri seseorang mesti meneliti keadaannya dengan cara bermuhâsabah dan bermurâqabah, kemudian memberikan perhatian kepadanya sehingga terlihat mana aib dan cacat diri, serta kekurangan-kekurangan yang harus diperbaiki.
Menurut Hamka, seseorang takut mati dikarenakan enam hal; (1) tidak tahu hakikat mati, (2) tidak insaf kemana kita pergi sesudah mati, (3) takut kena siksa, (4) tidak tahu kemana diri sesudah mati, (5) takut sedih akan meninggalkan harta, (6) takut sedih karena meninggalkan anak. Oleh sebab itulah, persaan takut seperti ini harus dilawan dengan pemahaman yang benar terhadap hakikat kematian secara menyeluruh. Artinya, seseorang mesti memiliki ilmu yang benar mengenai proses kematian dan akhir dari perjalanannya. Hamka sendiri menegaskan bahwa rasa takut terhadap kematian yang bersifat negatif ini di sebabkan oleh kebodohan.
Sebenarnya, takut akan kematian akan membawa dampak positif bila kemudian disikapi dengan baik pula. Rasa takut akan kematian akan menimbulkan tindakan positif berupa persiapan diri untuk menghadapinya, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Qhurtibi dalam kitabnya “At Tadzkirah fî Ahwâlil Mauta wa Umûril âkhirah.” Ia mengutip pendapat Ad Daqôq yang mengatkan bahwa; “Barang siapa memperbanyak mengingat kematian, maka ia akan dikaruniai tiga keutamaan. Pertama, dimudahkan dirinya untuk bertaubat, kedua, diberikan sikap qanâ’ah pada hati, dan ketiga, mampu untuk rajin dalam beribadah.
Hamka menambahkan tentang keadaan manusia dalam mengingat mati ada tiga golongan; (1) tidak mengingatnya sama sekali, (2) mengingatnya dengan kegentaran dan ketakutan, (3) mengingatnya dengan akal budi dan hikmah. Adapun kelompok yang terakhir inilah, yang sanggup mengambil hikmah dari potensi rasa khauf yang ada dalam dirinya.
d.        Konsep Zuhud
Di dalam bukunya Tasawuf Modern Hamka tidak membicarakan tentang istilah zuhûd dalam bab khusus. Maka Hamka sebagai sosok yang mendukung terhadap tasawuf (menurut versinya) menjelaskan konsep tentang zuhûd dengan sikap moderat. Sebagai starting point dalam bukunya Pandangan Hidup, Hamka menerangkan bahwa, “Kita perlu benda dan kita perlu rohaniyat. Kita perlu kaya karena hendak membayar zakat kepada fakir dan miskin. Kita perlu meratakan jalan di permukaan bumi, untuk mengikat tangga kelangit. Kita akan dipukul oleh kesengsaraan jika kita tidak pegang dua tali; tali Allah dan tali insaniyah.” Berawal dari ungkapannya ini, kita dapat melihat betapa Hamka bukanlah sosok yang acuh terhadap kebendaan duniawi. Ia kembali menegaskan bahwa ada terjadi anggapan yang salah bahwa agama adalah penyebab segala kemunduran dan kemalasan kerena hanya mengingat keberadaan akhirat saja. Dalam hal ini Hamka menjelaskan; “Ada salah sangka terhadap agama akibat ketidakfahaman. Agama dituduh bahwa dia memundurkan hati, gerak agama membawa manusia malas, sebab ia senantiasa mengajak umatnya membenci dunia, terima saja apa yang ada, terima saja takdir, jangan berikhtiar melepaskan diri, bangsa yang zuhud demikian terlempar kepada kemiskinan katanya !.”
Menurut Hamka, kondisi zuhûd pada seorang hamba itu muncul atas manifestasi dari keimanan. Sehingga pengertian zuhûd yang benar menurutnya adalah; tidak perhatian kepada yang lain kecuali kepada Allah. Selain dari Allah tidak ada yang terkenang di dalam hati. Sebab itu orang yang zuhud merasai; lâ yamliku syai’an wa lâ yamlikuhû sya’un (tidak mempunyai apa-apa dan tidak dipunyai oleh apa-apa). Dalam hal ini sebenarnya Hamka ingin mengingatkan agar manusia tidak terjebak seperti yang digambarkan dalam al Qur’an surah at Takâtsur (ayat 1-2). Allah berfirman; اَلهْاَكُمُ التَّكَاثُر حَتَّى زُرْتُمُ المْقَاَبِ
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. Al Kautsar: 1-2) Hamka menjelaskan isi makna ayat ini dengan, “Kamu terlalai, terlengah dan kamu terpaling dari tujuan yang sejati. Kamu tidak lagi perhatikan kesucian jiwa, kecerdasan akal, memikirkan hari depan. Telah lengah kamu dari memperhatikan hidupmu yang akan mati dan kamu telah lupa perhubungan dengan Tuhan Pencipta seluruh alam, Pencipta dirimu sendiri.” Perhatian akan keberadaan akhirat ini bukan berarti Hamka hendak memutuskan hubungan terhadap dunia, bahkan ia menginginkan dari perilaku zuhûd ialah mereka yang sudi miskin, sudi kaya, sudi tidak beruang sepeserpun, dan sudi jadi milyuner, namun harta itu tidak menyebabkan lupa terhadap Tuhan dan kewajibannya.
Pendapat Hamka mengenai harta kekayaan ada dua bentuk. Pertama kekayaan yang hakiki dan kedua, kekayaan yang majasi. Menurutnya, kekayaan yang hakiki adalah:“Mencukupkan apa yang ada, sudi menerima walaupun berlipat ganda beratus milyun, sebab ia nikmat Tuhan. Dan tidak pula kecewa jika jumlahnya berkurang, sebab dia datang dari sana akan kembali kesana. Jika kekayaan melimpah kepada diri walau bagaimana banyaknya kita teringat bahwa gunanya ialah untuk menyokong amal dan ibadat, iman, dan untuk membina keteguhan hati menyembah Tuhan. Harta tidak dicintai karena ia harta. Harta hanya dicintai sebab ia adalah pemberian Tuhan. Dipergunakannya kepada hal yang berfaedah.”
Dengan demikian, menurut Hamka bukanlah kepemilikan harta yang sedikit yang membuat seseorang menjadi merasa susah, serta bukannya banyaknya harta yang menjadi seseorang merasa gembira. Adapun pokok yang sebenarnya adalah jiwa yang tenang dan damai. Harta inilah yang sekarang telah menyebabkan tertutupnya hati dari cahaya kebenaran. Dia telah menghambat langkah menuju gerbang kesucian, hingga orang tak ada lagi yang mencari haq (benar), mencari kebenaran, tetapi mencari harta.
Oleh karenanya menurut Hamka, seorang yang zahîd (pelaku zuhûd) bukannya menolak harta benda dan kekayaan serta isi dunia yang dapat menjadikan ia memudahkan melakukan amal perbuatan. Disinlah keterangan Hamka tepat sekali bahwa. “Dari itulah tidak dinamakan seorang zahid (orang yang zuhûd) lantaran tidak berharta. Siapa juapun sanggup menjadi orang zuhud, menjadi sufi, bukan dihalangi oleh kekayaan harta. Orang yang zahid, adalah orang yang tidak dipengaruhi harta, walaupun seluas isi dunia ini dia yang punya”. Hamka menganalogikan kehidupan kita di dunia ibarat seorang pawang lebah. Pawang yang pintar dapat saja mengambil lebah yang banyak tetapi tidak perlu sampai tersengat lebahnya. Allah sendiri menganjurkan untuk memperhatikan dua kehidupan, dunia dan akhirat.
e.       Konsep Tawakkal
Sebagian dari para sufi yang tergelincir pemahamannya telah menyamakan keberadaan zat antara mahluk dan khalik. Demikian sebagaimana tertera dalam penjelasan Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Iqtidhâ’ussirôtol Mustaqîm Mukholafati Ashâbil Jahîm.” Bagi mereka, di antara keduanya terdapat esensi yang sama yang tidak dapat diceraiberaikan bila dengan ketajaman hatinya seseorang itu telah mencapai makrifat kepada al haq (Allah). Fenomena seperti ini jelas bertentangan dengan Islam. Untuk itulah Hamka menjelaskan bagaimana cara bergantung yang benar meurut apa yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Menurut pandangan Hamka, tawakkul merupakan satu sifat yang telah tersimpul dalam diri orang-orang yang telah memiliki sifat qanâ’ah. Hamka kemudian mengartikan tawakkul dengan arti penyerahan keputusan setiap sesuatu perkara atau urusan hajat hidup manusia, berupa ikhtiar dan usahanya hanya kepada Allah pemilik sekalian alam. Artinya, rasa ketergantungan manusia kepada Allah itu berlaku atas setiap perkara yang kita turut memiliki usaha di dalamnya. Hal ini terkait dengan apa yang disampaikan oleh Syaik Abu Bakar Al Jazairi dalam kitabnya “Minhâjul Muslîm.” Di mana ia menjelaskan bahwa makna tawakkul tidak hanya harus difahami oleh setiap orang beriman dengan penyerahan tanpa usaha saja, atau berlepas tangan terhadap sesuatu yang akan terjadi. Namun hal ini sangat terkait dengan pemahaman yang benar terhadap takdir Allah.
Pemahaman terhadap takdir memiliki kedudukan penting dalam diri manusia. Untuk Itulah, didalam uraiannya, Hamka menjelaskan:
“Bilamana didikan takdir, kepercayaan bahwsanya buruk dan baik, sakit dan senang, hina dan mulia, naik dan jatuh dan sebagainya, telah masuk sebaik-baiknya ke dalam jiwa kita, sebagai patri sejati dari seluruh kepercayaan, yaitu Tauhid ke Esaan Tuhan itulah yang memberi nilai hidup. Sebab Dia yang memberi imbangan bagi jiwa kita, sehingga tidak sombong tersebab naik, tidak lemah semangat diseketika turun, dan tidak putus hubungan dengan Ilahi.”
Iman adalah kepercayaan hati sementara Islam adalah perbuatan. Dan kalau iman serta Islam telah ada, secara otomatis ia akan bertawakkul kepada Allah. Hamka juga menambahkan bahwa; “Dengan begitu, tawakal bukan berarti berdiam diri saja menunggu nasib, dengan tidak melakukan ikhtiar. Tawakkal menyebabkan jiwa jadi kuat. Dan kalau jiwa telah kuat, akal dan pikiranpun terbuka untuk menghadapi dan mengatasi kesulitan.”
Oleh sebab itulah, Hamka memberikan kejelasan tentang makna tawakkal sebagaimana yang dicontohkan dalam kehidupan Rasulullah. Ia menyebutkan kisah perjalanan Hijrahnya Rasulullah bersama Abu Bakar atas perintah Allah ke negeri Madinah. Di dalam perjalanannya Rasulullah berusaha sekuat tenaga dan dengan daya serta cara untuk lepas dari kejaran orang-orang kafir hingga ke bukit Tsur. Hal ini menunjukkan bahwa manusia setinggi derajatnya seperti Rasulullah saja masih membutuhkan ikhtiar dan usaha. Jika dikatakan berusaha itu bukan termasuk bertawakkul maka para anbiyâ bukanlah golongan yang demikian. Nabi Nuh as dan Nabi Zakaria as adalah pedagang, nabi Idris as adalah penjahit, Nabi Ibrahim as dan Nabi Lut as adalah petani, nabi Musa as dan Syu’aib as adalah pedagang.
Melalui pelajaran dari sirah nabawi ini pulalah Hamka menegaskan dalam tulisannya, “Kita tidak boleh langsung lari kepada takdir kalau ikhtiar belum sempurna. Memang diakui bahwa kunci pintu tak dapat menolak kadar, kunci kandang tak dapat menangkis kepada nasib, melainkan dengan izin Allah juga. Tetapi tidaklah boleh kita lantaran terus saja lari kepada takdir kalau ikhtiar belum sempurna.” Hamka tidak mengenyampingkan peran ikhtiar atau usaha yang sejenisnya[7]. Artinya, Hamka membangun pengertian tawakkal melalui prinsip ketauhidan yang sempurna. Hal itu ia katakan dalam penjelasan yang lain; “Tawakal tidak datang dengan sendirinya, akan tetapi ia adalah buah dari tauhid yang telah mendarah daging dalam jiwa seorang muslim. Sikap tawakkal tidaklah didapat oleh seseorang dengan tiba-tiba, tetapi dia adalah hasil ketauhidan yang telah dipupuk bertahun-tahun lamanya.”
Dalam pandangan Hamka pula, do’a merupakan sebab dari usaha manusia dan hal itu merupakan ikhtiar itu sendiri. Untuk itulah peran do’a menjadi penting, selain hal itu telah diperintahkan oleh Allah dan dicontohkan oleh RasulNya, di sisi lain do’a memberikan istifadah berupa kekautan dalam diri untuk hidup. Hamka menjelaskan dalam bukunya Do’a-do’a Rasulullah, “Dan do’a bukanlah alamat dari kelemahan, melainkan menimbulkan kekuatan. Yaitu mepositifkan atau menunjukkan jiwa semata-mata kepada Allah, bebas dari pengaruh atau mencari perlindungan kepada sesama mahluk karena dengan berdo’a kita selalu merasa diri dekat kepada Allah.”

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Melalui uraian di atas, maka dapatlah disimpulkan dalam kajian ini beberapa hal diantaranya;
1.      Hamka memahami tasawuf dengan pemahaman yang lebih tepat dengan ruh dan semangat ajaran Islam. Ia tidak memahami tasawuf sebagaimana gerakan tarekat dan sufistik pada umumnya.
2.      Tasawuf model Hamka ini menandingi tasawuf tradisional yang cenderung membawa bibit-bibit kebid’ahan, khurafat, dan kesyirikan. Sementara Hamka adalah ulama modernis (Mujaddid) yang bagitu anti dengan hal-hal tersbut. Dapat dikatakan, corak tasawuf Hamka adalah tasawuf pemurnian.
3.      Konsep-konsep tasawuf yang di terangkan Hamka sangat dinamis dengan kehidupan modern yang tidak dapat di tinggalkan begitu saja. Baginya, hidup diera modern tidak menjauhkan seseorang kepada Allah.


DAFTAR PUSTAKA


 Abdul Fattah Sayyid Ahmad, al-Thasawwûf bayna al-Ghazâli wa Ibn Taimiyah, (terj. Muhammad Muchson Anasy), Jakarta: Khalifa, 2005.
Hamka, Akhlaqul Karimah, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1992.
Herry Mohammad, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta: Gema Insani Press, 2006.
Kenangan-kenangan 70 tahun Buya Hamka, terbitan Yayasan Nurul Islam, cetakan kedua 1979.
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, Pustaka Panjimas, Jakarta: 1981.
Salahudin Hamid, Seratus Tokoh Islam Indonesia, Jakarta: Intermedia, 2003
ayt-7.848075 110.359591s


[1] Abdul Fattah Sayyid Ahmad, al-Thasawwûf bayna al-Ghazâli wa Ibn Taimiyah, (terj. Muhammad Muchson Anasy), Jakarta: Khalifa, 2005.
[2] QS:asy-syams ayat 9-10.
[3] Hamka, Akhlaqul Karimah, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1992.
[4] Herry Mohammad, dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta: Gema Insani Press, 2006.
[5] Kenangan-kenangan 70 tahun Buya Hamka, terbitan Yayasan Nurul Islam, cetakan kedua 1979.
[6] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, Pustaka Panjimas, Jakarta: 1981.
[7] Salahudin Hamid, Seratus Tokoh Islam Indonesia, Jakarta: Intermedia, 2003
Tag : makalah
0 Mayu kana' jhek rasarah jhek kun becah malolo tang blog rea mara komentari blog rea se ajudul "TASAWWUF MODERN HAMKA FANSURI"

Back To Top