MAKALAH TASAWUF MODERN HAMZAH FANSURI

MAKALAH

TASAWUF MODERN HAMZAH FANSURI





 



DosenPembimbing :
Dr. Mashum. M.Ag.

Disusunoleh :
Munawarotun (E03214013)
Moh.Husnan(E032114012)

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
JURUSAN TAFSIR HADIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2014








KATA PENGANTAR
Segala puji allah yang telah memberikan kesehatan dan ilmu, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah TASAWUF MODERN HAMZAH FANSURI, makalah ini dibuat dengan harapan bermanfaat buat kita semua.
Pada kesempatan ini, saya ingin ucapkan terima kasih kepada Bpk.Dr. H. Mashum, M. Ag yang telah memberikan pengetahuan melalui tugas makalah ini.
Saya menyadari makalah ini jauh dari dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.


Surabaya, 30 Oktober 2014






















DAFTAR ISI

COVER …………………………………………………………………………. i
KATA PENGANTAR ………………………………………………................. ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………. …….....iii
I.            PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah …………………………………….. ………1
B.     Rumusan Masalah ……………………………………………………2
C.     Tujuan ……………………………………………………….. ………2
D.    Manfaat …………………………………………………….... ………2
II.         PEMBAHASAN
A.    Riwayat Hidup Hamzah Fansuri…………………………… ………..4
B.     Ajaran Hamzah Fansuri …………..………………………… ………8
C.     Konsep wujudiyyah Hamzah Fansuri ...…………………….. ……...10
D.    Karya-karya Hamzah Fansuri ……………………………………....16
III.      PENUTUPAN
A.    Kesimpulan …………………………………………………. ……...21
B.     Saran ………………………………………………………... ……...22
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………... ……….




























BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
     Tasawuf  merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kajian Islam di Indonesia. Sejak masuknya Islam di Indonesia, unsur  tasawuf telah mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat, bahkan hingga saat ini pun, nuansa tasawuf masih kelihatan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman keagamaan sebagian muslimin Indonesia. Hal ini terbukti dengan semakin maraknya kajian Islam di bidang ini dan juga melalui gerakan Tarekat Muktabarah yang masih berpengaruh di masyarakat.[1]
Hawash Abdullah menyebutkan beberapa bukti tentang besarnya peranan para sufi dalam penyebaran Islam pertama kalinya di Indonesia. Ia menyebutkan seorang pengembang Arab Syekh Abdullah Arif  sebagai pembangun Negara Islam pertama di Aceh pada tahun 1177 M.[2] Lebih jauh lagi, ia menjelaskan kalau kita mau meneliti secara jujur, maka kita akan berkesimpulan bahwa di tahun-tahun pertama masuknya Islam ke nusantara, yang terbesar sekali jasanya adalah para sufi bukan golongan lainnya. Hampir semua daerah yang pertama memeluk Islam bersedia menukar kepercayaan asalnya dari Animisme, Dinamisme, maupun Budha-isme dan Hindu-isme karena tertarik pada ajaran sufi itu sendiri.[3]
Menurut Azyumardi Azra, tasawuf yang pertama kali menyebar dan dominan di Nusantara adalah yang bercorak falsafi, yakni tasawuf yang sangat filosofis dan cenderung spekulatif seperti konsep al-ittihad (Abu Yazid Al-Busthami), hulul (Al-Hallaj), dan wahdah al-wujud (Ibnu Arabi).[4] Para pengarang muslim di Indonesia adalah penyebar Islam sekaligus sufi. Pelopornya adalah Hamzah Fansuri.[5]
 Syekh Hamzah Fansuri adalah salah satu ulama nusantara yang diakui oleh para ilmuan. Kepopuleran Hamzah disebabkan kealiman dan ketinggian ilmunya dalam bidang tasawuf. Berkat usaha Hamzah, tasawuf menjadi terkenal di nusantara.
Hamzah Fansuri bukan hanya dikenal sebagai tokoh sufi, budayawan, dan sastrawan, tetapi dia juga seorang pembaharu yang memberikan sumbangsih yang cukup besar dalam perkembangan Islam. Hamzah Fansuri adalah tokoh yang membawa konsep wujudiyyah Ibnu Arabi ke nusantara.[6]
B.     Rumusan Masalah
1.      Siapakah Hamzah Fansuri ?
2.      Apa saja ajaran-ajaran Hamzah Fansuri ?
3.      Bagaimana konsep wujudiyyah Hamzah Fansuri ?
4.      Apa saja karya-karya Hamzah Fansuri ?
C.     Tujuan
1.      Menjelaskan siapa itu Hamzah Fansuri.
2.      Menjelaskan ajaran-ajaran Hamzah Fansuri.
3.      Menjelaskan konsep wujudiyyah Hamzah Fansuri.
4.      Menjelaskan karya-karya Hamzah Fansuri.
D.    Manfaat
1.      Mengetahui siapa Hamzah Fansuri.
2.      Mengetahui ajaran-ajaran Hamzah Fansuri.
3.      Mengetahui konsep wujudiyyah Hamzah Fansuri.
4.      Mengetahui karaya-karya Hamzah Fansuri.



















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Riwayat Hidup Hamzah Al-Fansuri

Nama Hamzah Al-Fansuri di nusantara bagi kalangan ulama dan sarjana penyelidik keislaman tidak asing lagi. Hampir semua penulis sejarah Islam mencatat bahwa Syekh Hamzah Al-Fansuri dan muridnya Syekh Syamsuddin As-Sumatrani termasuk tokoh sufi yang sepaham dengan Al-Hallaj. Paham hulul, ijtihad, mahabbah, dan lain-lain seirama dengan Al-Hallaj. Syekkh Hamzah Al-Fansuri diakui sebagai salah satu pujangga Islam yang sangat populer pada zamannya, sehingga namanya menghiasi lembaran-lembaran sejarah. Kesusastraan melayu dan Indonesia. Namanya tercatat sebagai seorang kaliber besar dalam perkembangan Islam di nusantara dari abadnya hingga ke abad kini. Dalam buku-buku mengenai sejarah mengenai Aceh, namanya selalu diuraikan dengan panjang lebar.[7] Dede Maurexa pernah mengatakan dalam “Seminar Masuknya Islam ke Indonesia” sebagai berikut,
Memerhatikan ulama-ulama Islam bermunculan pada Zaman dahulu berasal dari Fansuri juga misalnya Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Abdul Murad, Syekh Burhanuddin (murid Syekh Abdur Rauf Al-Fansuri) semua asal barus, Syamsuddin Pasai adalah murid dari Hamzah Fansuri. Ini membuktikan, ternyata dalam abad ke-16 saja telah tergambar dengan jelas tempat para ulama besar itu berada yang masih masyhur sampai sekarang.”[8]
Para pengkaji seperti Dorenboos (1933), Al-Attas (1970), Drewes dan Brakel (1986) dan lain-lain tak dapat menafikan bahwa Fansuri adalah ulama dan sufi pertama yang menghasilkan karya tulis ketasawufan dan keilmuan dalam bahasa melayu tinggi atau baku, bahasa yang kelak dipilih menjadi bahasa persatuan bangsa Indonesia. Kecermelangan gaya penulisannya diakui sulit ditandingi oleh ulama sezaman dan sesudahnya. Ia juga adalah pemula penyair Islam Nusantara, perintis tradisi keilmuan dan filsafat, pembara keilmuan dan filsafat, serta pembaru keilmuan pada zamannya.[9]  
Meskipun keberadaan Al-Fansuri diyakini para ahli, tahun dan tempat kelahirannya hingga sekarang masih belum diketahui. Ketidakjelasan riwayat Al-Fansuri ini disebabkan tidak dimasukkannya nama Al-Fansuri dalam dua sumber penting sejarah Aceh, yaitu Hikayat Aceh dan Bustanus Salatin yang ditulis atas perintah Sultan.[10]
Kapan dan di mana Hamzah Fansuri dilahirkan tidak diketahui secara pasti. Ada yang menyebutkan bahwa ia dilahirkan di Barus pada akhir abad ke -16 Barus merupakan sebagian dari Kerajaan Aceh. Syekh Muhammad Naquib al-Attas (1965) dan Teuku Iskandar (1966) menyebutkan bahwa Hamzah Fansuri dilahirkan di Barus atau Fansur kira-kira pada abad ke-16 Masehi. Kedua ahli ini mengutip sebagian syair karya Hamzah Fansuri yang menjelaskan kelahiran tokoh ini sebagai berikut,
Hamzah Fansuri di negri Melayu,
Tempatnya kapur di dalam kayu . . .
atau Hamzah ini asalnya Fansuri ( Hassan, 1987 : 26 )[11]
Konon kemudian nama Fansuri digabungkan di belakang namanya menjadi Hamzah Fansuri. Penggabungan nama tempat asal sebagai gelar ini lazim pada waktu itu, seperti Abdul Qadir Al-Jailani, Abdur Rauf As-Singkel, dan Syamsuddin As-Sumatrani.[12]
Ulama berbeda pendapat tentang tempat kelahiran Hamzah Fanshuri pada penafsiran mereka akan salah satu syair Syekh Hamzah Fansuri berikut :
        Hamzah nur asalnya Fansuri,
Mendapat wujud di tanah Syahr Nawi,
        Beroleh khilafat ilmu yang ‘ali,
        Daripada Abdul Qadir Sayyid Jailani.
Ada yang berpendapat bahwa “Syahru Nawi” (pada bait kedua) adalah “Bandar Ayuthia”, ibu kota kerajaan Siam pada zaman silam. Pendapat lain bahwa Syahru Nawi adalah nama lama dari tanah Aceh sebagai peringatan bagi seorang Pangeran Siam bernama Syahir Nuwi yang datang ke Aceh pada zaman dahulu, kemudian membangun Aceh sebelum datangnya Islam.[13]
Dalam syairnya yang lain disebutkan bahwa Hamzah Fansuri hidup pada masa kerajaan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997-1011 H. = 1589-1604 M.) :
        Hamba mengikat syair ini,
        Di bawah hadlarat raja wali,
        Syah alam raja yang adil,
        Raja kutub sempurna kamil,
        Wali Allah sempurna wasil,
Raja arif lagi mukammil.
Dalam sajak yang lain, yang diciptakan Hamzah waktu sedang berada di kota Quddus (Baital Maqdis/Darussalam) Palestina, dijelaskan bahwa tanah airnya adalah Tanah Aceh :
        Hamzah gharib Uanggas Quddusi,
        Akan rumahnya Baitul Makmuri,
        Kursinya sekalian kapuri,
        Di negeri Fansyuri minal asyjari.
Waktu sedang di rantau (kota Quddus/Palestina), Hamzah menerangkan bahwa rumahnya (tempat lahirnya) di Baitul Makmur, nama lain dari Aceh Darussalam, tegasnya di kampong Oboh Simapng Kiri (Singkel) yang telah berubah namanya menjadi “Negeri Fansuri”, semenjak Hamzah mendirikan Dayah (pusat pendidikan Islam) di kampung tersebut.[14]
Tampaknya, Syekh Hamzah Fansuri adalah seorang ahli bahasa. Bahasa yang dikuasainya adalah bahasa Arab, bahasa Farsi, dan bahsa Melayu. Ini dapat diketahui dari kalimatnya,
Amma Ba’du: Adapun kemudian daripada itu maka ketahui olehmu, hai saudaraku, bahwa al-faqir al-haqir adh-dhaif al-khalif Hamzah Fanshuri radhialluhu anhu, hendak menanyakan jalan kepada Allah dengan bahasa jawa dalam kitab ini saat sampai segala hamba yang tidak tahu bahwa bahasa Arab dan Farsi memahaminya.”[15]
B.     Ajaran Tasawuf  Hamzah Al-Fansuri
Pemikiran-pemikiran Hamzah Fansuri tentang Tasawuf banyak banyak dipengaruhi oleh Ibnu Arabi dalam paham Wahdah Al-Wujudnya.[16] Hamzah Fansuri langsung mengaitkan dirinya dengan ajaran para sufi Arab dan Persia lainnya yaitu Abu Yazid Al-Busthami, Mansur Al-Hallaj, Fariduddin Attar, Junayd Al-Baghdadi, Ahmad Al-Ghazali, Jalal Al-Din Al-Rumi, Al-Maghribi, Mahmud Shabistari, Al-Iraqi dan Al-Jami. Di antara mereka Al-Busthami dan Al-Hallaj merupakan tokoh idola Hamzah Fansuri dalam hal cinta (‘isyq) dan ma’rifat. Ia juga sering mengutip pernyataan dan syair-syair Ibn Arabi dan Al-Iraqi untuk menopang pemikiran tasawufnya.[17] Di antara ajaran-ajarannya adalah :
a.       Allah. Allah adalah Dzat yang mutlak dan qadim, sebab Dia adalah yang pertama dan pencipta alam semesta. Allah lebih dekat daripada leher mausia sendiri, dan bahwa Allah sendiri tidak bertempat, sekalipun sering dikatakan bahwa Ia ada di mana-mana. Ketika menjelaskan ayat “fainnama tuwallu fa tsamma wajhu’llah” ia katakan bahwa kemungkinan untuk memandang wajah Allah SWT. di mana-mana merupakan uniomistica. Para sufi menafsirkan “wajah Allah SWT.” sebagai sifat-sifat Tuhan, seerti Pengasih, Penyayang, Jalal, dan Jamal. Dalam salah satu syairnya Al-Fansuri berkata,
Mahbubmu itu tiada berha’il,
Pada ayna ma tuwallu jangan kau ghafil,
Fa tsamma wajhullah sempurna wasil,
Inilah jalan orang yang kamil.”
            Hamzah Fansuri menolak ajaran pranayama dalam agama Hindu yang membayangkan Tuhan berada di bagian tertentu dari tubuh, seperti ubun- ubun yang dipandang sebagai jiwa dan dijadikan titik konsentrasi dalam usaha mencapai persatuan.[18]
b.      Hakikat wujud dan penciptaan. Menurutnya, wujud itu hanyalah satu walaupun kelihatan banyak. Dari wujud yang satu ini, ada yang merupakan kulit (mazzhar, kenyataan lahir) dan ada yang merupakan isi (kenyataan batin). Semua benda yang ada sebenarnya merupakan manifestasi dari yang haqiqi yang disebut Al-Haqq Ta’ala. Ia menggambarkan wujud Tuhan bagaikan lautan dalam yang tidak bergerak, sedangkan alam semesta merupakan gelombang lautan wujud Tuhan. Pengaliran dari Dzat yang mutlak ini diumpamakan gerak ombak yang menimbulkan uap, asap, awan , kemudian menjadi dunia gejala. Itulah yang disebut ta’ayyun dari Dzat yang la ta’ayyun. Itu pulalah yang disebut tanazul. Kemudian, segala sesuatu kembali lagi kepada Tuhan (taraqqi) yang digammbarkan bagaikan uap, asap, awan, lalu hujan, sungai, dan kembali ke lautan.
Penggambaran yang pernah dilakukan Fansuri berupa jasad dan rohani diungkapkannya dengan syair,
           “Hamzah Fansur di dalam Mekah,
           Mencari Tuhan di Baitul Kabah,
           Di Barus Kudus terlalu payah,
           Akhirnya dapat di dalam rumah.”
Syair Fansuri yang lain adalah,
“Hamzah gharib,
           Akan rumahnya baitul ma’muri,
           Kursinya sekalian kafuri,
           Di negeri Fansur minal asyjari.”
Kata-kata Fansuri ini merupakan sindiran terhadap Abu Yazid Al-Bustami yang mengatakan bahwa Tuhan berada di dalam jubahnya.[19]
c.       Manusia. Walaupun manusia sebagai tingkat terakhir dari penjelmaan, ia adalah tingkat yang paling penting dan merupakan penjelmaan yang palih penuh dan sempurna. Ia adalah aliran atau pancaran langsung dari Dzat yang mutlak. Ini menunjukkan adanya semacam kesatuan antara Allah dan Manusia.
d.      Kelepasan. Manusia sebagai makhluk penjelmaan yang sempurna dan berpotensi untuk menjadi insan kamil (manusia sempurna), tetapi karena ia lalai, pandangannya kabur dan tiada sadar bahwa seluruh alam semesta ini adalah palsu dan bayangan.[20]
C.     Konsep Wujudiyah Hamzah Fansuri
Pokok pemikiran Hamzah Fansuri yang paling dikenal adalah wujudiyah. Wujudiyah adalah suatu paham tasawuf yang berasal dari paham wahdah al-wujud Ibnu Arabi yang memandang bahwa alam adalah penampakan (tajalli) Tuhan , yang berarti yang ada hanya satu wujud, yaitu wujud Tuhan, yang diciptakan Tuhan pada hakekatnya tidak mempunyai wujud.
Hamzah Fansuri pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 memperkenalkan ajaran tasawuf wujudiyyah. Disebut wujudiyyah karena membicarakan wujud Tuhan dan wujud manusia atau makhluk-Nya yang lain. Ajaran ini mendapat tantangan dari banyak ulama yang hidup pada masa itu, karena dianggap sesat dan menyimpang dari ajaran syari’at. Hamzah Fanzuri mendapat perlindungan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), sehingga ajarannya sempat berkembang di masa Aceh. Ajaran tasawuf seperti yang diajarkan Hamzah Fansuri ini terlebih dahulu muncul di Arab dan sekitarnya. Menurut Canon Sell, ajaran tasawuf yang ekstrem ini muncul sekitar abad kesembilan dan permulaan abad kesepuluh. Ajaran ini dipelopori oleh Al-Bayazid dari Bistam dan Al-Junayd dari Baghdad. Pengikut Al-Junayd yang terkenal adalah Al-Hallaj yang terkenal dengan ucapannya “onna alhag” (saya yang benar atau saya Tuhan). Ucapannya ini mendapat tantangan keras dari ulama ortodoks dan dianggap sebagai ucapan sesat. Sebagai konsekuensi dari ucapannya ini, Al-Hallaj dibunuh secara kejam. Walaupun sudah dibunuh, ajaran Al-Hallaj masih diikuti dan dipelajari. Di antara pengikutnya adalah Ibnu Arabi. Melalui Ibnu Arabi inilah Hamzah Fansuri mempelajari konsep wujudiyyah.
Dalam ajaran tasawuf wujudiyah, ditemukan adanya aspek-aspek yang sama dengan konsep wahdah al-wujud dari Husin bin Umar Al-Hallaj dan Abu Bakar Muhammad bin Ali Muhyi Al-din Al-Hatimi Al-Andalusi atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Arabi. Mereka mengajarkan bahwa Tuhan seolah-olah sama dengan makhluk-Nya (ittihad) atau Tuhan dapat menitis dan menjelma kepada semua benda ciptaan-Nya. Berdasarkan pandangan ini, banyak peneliti barat yang mengartikan wahdah al-wujud kedua tokoh tersebut dengan panteisme. Panteisme merupakan paham yang menganggap bahwa Tuhan adalah semua benda atau sebaliknya semua benda adalah Tuhan. Dengan demikian, menurut paham ini, makhluk sama dengan Tuhan. Akan tetapi, akhir-akhir ini banyak serjana banyak yang tidak menyetujui bahwa konsep wahdah al-wujud sebagai paham panteisme karena paham keesaan dianut pengikut wahdah al-wujud itu mempunyai arti yang lebih, yaitu aspek rohaniah yang amat tinggi, (al-sir fi al-sir). Bagi seseorang yang menjalani taswuf yang sempurna memang dapat merasakan hakikat rantai-rantai rohaniah dengan Tuhan, tetapi manusia bisa sulit memikirkan hal itu karena kebenaran yang ada merupakan kebenaran rasa dzauq dan kasyaf  yang merupakan hasil pencapaian dari amalan tasawuf seseorang itu.
Walaupun banyak dipengaruhi tokoh tasawuf yang ekstrem, baik yang berasal dari Parsi maupun Arab, Hamzah Fansuri dianggap sebagai seorang ahli tasawuf yang berhasil menjalani tasawufnya. Sebagian besar renik-renik ajarannya merupakan pengalaman pribadi. Dalam membicarakan hubungan antara manusia dengan Tuhan, Hamzah Fansuri selalu menggunakan kias dan ibarat, seperti kutipan berikut,
“Ada ahli hakikat dua bagi : setengah beranak Beristri dan berumah bertanaman, tetapi tiada hatinya lekat kepada tanaman dan pada anak istrinya di rumah. Apabila hatinya tiada lekat kepada sekalian itu, tiada hijab paddanya sungguh pun ia beranak beristri berumah bertanaman. Jikalau rumahnya dan tanamannnya, tiada ia duka. Jika kerajaan Sulaiman dan Iskandar diberi Allah Taala akan dia pun tiada ia suka, karena hina dan mulia sama padanya, tiada ia melihat dirinya melainkan Allah Subhanahu wa Taala juga, karena pada ahli hakikat, wujud sekalian alam, wujud Allah. Apabila sekalian Allah, niscaya daripada-Nya.
Seperkara lagi ketika ia memandang di luar dirinya, barang dilihatnya dirinya. Jika dilihatnya barang dipandangnya dirinya juga dipandangnya karena pada ahli hakikat alam dengan dirinya esa juga, tiada dua tiga,. Apabila alam sekalian dengan dirinya esa, niscaya baraang dilihatnya, seperti sabda Rasulullah SAW “Ra’itu rabbi bi ‘annirabbi” artinya kulihat Tuhanku dengan mata rahmat Tuhanku.”
  Kutipan di atas menunjukkan bahwa hubungan antara manusia dengan Tuhan di mata Hmazah Fansuri sanngat erat seperti hubungan dua orang kekasih. Pandangan ini memiliki kesamaan dengan pandangan Al-Hallaj, yang menganggap Tuhan sebagai kekasihnya.[21]
Orang banyak menyanggah Fansuri karena paham wihdatul wujud, hulul, ittihad-nya sehingga mengecapnya sebagai seorang yang zindiq, sesat, kafir, dan sebagainya.[22] Akan tetapi, Tuduhan bahwa Hamzah Fansuri telah menempuh jalan sesat telah dibuktikan oleh beberapa ahli bahwa tuduhan itu tidak benar. Di antaranya disebutkan dalam sajak-sajaknya. Hamzah Fansuri malah mengecam para sufi palsu atau penngikutnya-pengikutnya yang menyelewengkan ajaran tasawuf yang benar. 
Pencarian terhadap Tuhan yang dilakukan olah Hamzah Fansuri menujukkan bahwa seorang sufi lebih meletakkan kepercayaan kepada dirinya sendiri. Seorang sufi menginginkan agar manusia itu berdaulat pada dirinya, bebas melakukan pilihan dengan segala resikonya. Keinginan ini didasarkan pada pemahaman bahwa manusia itu ditakdirkan Tuhan untuk menjadi khlafiah di muka bumi ini. Perjumpaan dengan Tuhan tidak dating dengan sendirinya, melainkan harus direalisasikan melalui pembentukan diri dan pencarian diri. Hamzah Fansuri mengatakan bahwa “Wujud dirinya esa juga”. Ungkapan ini harus diartikan sebagai tahap terakhir perjalanan seorang sufi, yakni makrifat. Dalam makrifat, kehendak Tuhan dan kehendak manusia telah menyatu. Kata “wujud” tidak dapat diartikan sebagai ada secara fisik, meainkan keberadaan atau eksistensi. Seseorang yang telah mencapai tahap makrifat akan mampu memancarkan sifat-sifat ilahi yang diberikan kepadnya. Kehendak Tuhan telah menyatu dengan kehendak dirinya dan tidak berpisah dengan Tuhan.
Kesalahan dalam melihat paham wujudiyyah yang diajarkan Hamzah Fansuri sebagai menyimpang dari ajaran Islam agaknya bersumber dari kenyataan bahwa paham itu melahirkan kaum zindiq yang menyimpang dari ajaran agama. Dalam sajak-sajaknya, Hamzah Fansuri menunjukkan bahwa ia tidak sepaham dengan kaum zindiq, yakni golongan wujudiyyah yang berhaluan mulhidah (menyimpang dari kebenaran). Hamzah Fansuri tetap berpegang pada wujudiyyah murni dan belum menyimpang muwahhidah (kesatuan dengan Tuhan).
Beberapa bait yang dikutip dan dipetik dari Syair Perahu akan menunjukkan bahwa Hamzah Fansuri tidak meninggalkan rukun iman dan tauhid,
        “Inilah gerangan suatu madah
         mengarangkan suatu syair terlalu indah
membetuli jalan tempat berpindah
di sanalah I’tikad dibetuli sudah

Wahai muda kenali dirimu
ialah perahumu tamsil dirimu
tiadalah berapa lama hidupmu
ke akherat jua bekal hidupmu

Hai muda arif budiman
hasilkan kemudi dengan pedoman
alat perahumu jua kerjakan
itulah jalan membetuli insan

Ingati sungguh siang dan malam
lautnya bertambah deras dalam
angin pun keras ombaknya rencam
ingati perahu jangan tenggelam
Sampailah ahad dengan masanya
datanglah angin dengan paksanya
berlayar perahu sidang budimannya
berlayar itu dengan kelengkapannya

Wujud Allah nama perahunya
ialah Allah akan kurungnya
iman Allah nama kemudianya
yakin akan Allah nama pawangnya

Tuntuti ilmu jangan kepalang
di dalam kabur terbaring seorang
Munkar wa Nakir ke sana datang
menanyakan jikalau ada sembahyang

Kenal dirimu hai anak Ada
4tatkala di dunia terangnya alam
sekaranng di kubur tempatu kelam
tiadalah berbeda siang malam
Dalam petikan sajak yang indah ini, Hamzah Fansuri dengan tepat memilih imaji simbolik di samping pertualangan yang mampu membawa pembaca ke suasana ektase seperti dalam zikir.[23]
Ajaran wujudiyah Hamzah Fansuri dapat diringkaskan sebagai berikut :
1.      Pada hakekatnya zat dan wujud Tuhan sama dengan zat dan wujud alam.
2.      Tajalli alam dari zat dan wujud Tuhan pada tataran awal adalah Nur Muhammad yang pada hakekatnya adalah Nur Tuhan.
3.      Nur Muhammad adalah sumber segala khalq Allah (ciptaan Tuhan ), yang pada hakekatnya khalq Allah itu juga zat dan wujud Allah.
4.      Manusia sebagai mikrokosmos harus berusaha mencapai kebersamaan dengan Tuhan dengan jalan tark al-dunya, yaitu menghilangkan keterikatannya dengan dunia dan meningkatkan kerinduan kepada mati.
5.      Usaha manusia tersebut harus dipimpin oleh guru yang berilmu sempurna.
6.      Manusia yang berhasil mencapai kebersamaan dengan Tuhan adalah manusia yang telah mencapai ma’rifat yang sebenar-benarnya, yang telah berhasil mencapai taraf ketiadaan diri (fana’ fi Allah).[24]

D.     Karya Hamzah Fansuri

Karya Hamzah Fansuri ditulis dalam bentuk sya’ir dan prosa. Syair-syair Hamzah Fansuri dianggap sebagai tonggak perkembangan sastra religious di Nusantara. Penggunaan bahasa melayu dalam syairnya membuat bahasa ini menjadi bahasa resmi pengembangan ilmu pengetahuan dan perdagangan.[25] Windstet (1969:141) dan al-Attas (1970:178 ) dalam penelitiannya menyatakan bahwa Hamzah Fansuri merupakan orang pertama kali menulis ilmu tasawuf dalam bentuk syair.[26]
Di antara karya Hamzah Fansuri yang berbentuk syair adalah :
1.      Syair Burung Pingai
2.      Syair Dagang
3.      Syair Sidang Fakir
4.      Syair Ikan Tongkol
5.      Syair Perahu
6.      Syair Burung Pungguk
7.      Thair al-‘Uryan
Syair Burung Pingai
Syair Burung Pingai bercerita tentang burung pingai yang melambangkan jiwa manusia dan juga Tuhan. Syair ini mengibaratkan kedekatan hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam syair ini, Hamzah mengangkat satu masalah yang banyak dibahas  dalam tasawuf, yaitu hubungan satu dengan banyak. Yang esa adalah Tuhan dengan alamnya yang beraneka ragam. Syair ini sepertinya dipengaruhi oleh mantiq al-thair karangan al-Athar. Hamzah menjelaskan hakikat keberadaan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Dengan pendekatan filsafat sufistik ia mendeskripsikan bagaimana wujud makhluk dalam kebersatuannya dengan Tuhan sehingga Tuhan mewarnai keseluruhan wujudnya.
Syair Perahu
Syair Perahu melambangkan tubuh manusia sebagai perahu yang berlayar di laut. Pelayaran itu penuh marabahaya. Jika manusia kuat memegang keyakinan la ilaha illa Allah, maka dapat dicapai tahap yang melebur perbedaan antara Tuhan dan hamba-Nya.
Syair Dagang
Syair Dagang berbeda dengan syair-syair Hamzah lainnyayang bersifat mistis dan melambangkan hubungan Tuhan dan manusia. Syair dagang menceritakan tentang kesengsaraan seorang anak yang hidup di rantau. 
Karangan-karangan Hamzah Fansuri yang berbentuk prosa (kitab ilmiyah) adalah :
1.      Asrar al-Arifin fi Bayan ‘ilmu al-Suluk wa al-Tauhid
2.      Syarab al-‘Asyiqin
3.      Al-Muntari
4.      Al-Muhtadi
5.      Ruba’I Hamzah Fansuri
Asrar al-Arifin fi Bayan ‘ilmu al-Suluk wa al-Tauhid
Dalam pendahuluan kitab ini, dinytakan bahwa manusia dijadikan Allah dari tiada dan diberi rupa lengkap dengan telinga, hati, serta nyawa dan budi. Oleh karena itu, manusia hendaknya mencari Tuhan dengan mengenal makrifat kita. Dalam upaya menolong umat agar mengenal makrifat Allah, sifat, dan asma-Nya, Hamzah Fansuri mengarang 15 bait syair serta dengan syarahnya. Hamzah Fansuri, dalam syair itu, menjelaskan bahwa Tuhan kitalah yang mempunyai zat. Zat iru tidak berpisah dengan sifat-Nya. Selanjutnya, disebutkan bahwa di antara sifat-Nya yaitu hayat, ilmu, iradat, kodrat, kalam, sami’ (mendengar), dan bashir (melihat). Dijelaskan pula bahwa makrifat Allah itu sama dengan haqiqah Muhammad yang juga disebut dengan nur Muhammad. Setelah smpurna mengetahui dan mengenal Dia, perlu mengajarkan syariat.
Syarab al-‘Asyiqin
Kitab ini juga dikenal dengan Zinat al-Muwafidin (perhatian segala orang yang muwahidi). Syarab al-‘Asyiqin terdiri atas tujuh bab. Hamzah Fansuri mengarang kitab ini dalam bahasa Jawi (melayu) bagi orang yang tidak mengerti bahasa Arab dan Persi. Bab 1 menyatakan perbuatan syariat. Bab 2 menyatakan bahwa tarekat tiada lain daripada hakikat karena tarekat itu permulaan hakikat. Bab 3 menyatakan bahwa hakikat adalah kesudahan jalannya. Bab 4 menyatakan bahwa manusia yang sudah mencapai tataran makrifat mengetahui rahasia nabi serta sifatnya. Bab 5 menyatakan kenyataan zat Tuhan yang maha tinggi dan tidak dapat dipikirkan. Bab 6 menyatakan sifat Allah SWT yang sudah dijelaskan dalam bab 4. Bab 7 menyatakan berahi dan syukur.
Al-Muntahi
Al-muntahi merupakan pedoman bagi manusia yang sudah arif dalam ajaran wujudiyyah. Dalam kitab ini, Hamzah Fansuri mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an, hadis, ucapan para sufi, dan penyair untuk menjelaskan Man arafa nafsahu fa qad arafa rabbahu (Barang siapa yang mengenal dirinya, maka akan mengenal Tuhannya).[27]
Karya-karya Hamzah Fansuri baik yang berbentuk syair maupun berbentuk prosa banyak menarik perhatian para sarjana. Yang banyak membicarakan tentang Hamzah Fansuri adalah Prof. Muhammad Naquib Al-Attas dengan beberapa judul bukunya yang berkaitan dengan Fansuri. Dua orang yaitu J. Doorenbos dan Muhammad Naquib Al-Attas mempelajari biografi Hamzah Fansuri secara mendalam untuk mendapatkan Ph. D masing-masing. Karya prof. Muhammad Naquib di antaranya :
1.      The Misticism of Hamzah Fansuri (disertasi 1996), University of Malaya Press 1970.
2.      Raniri and Wujudiyyah, IMBRAS, 1966.
3.      New Light on Life of Hamzah Fansuri, IMBRAS, 1967.
4.      The Origin of Malay Shair, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968.
Adapun J. Doorenbos pernah menyalin Syair Perahu dari De Geschriften dan Hamzah Fansuri kemudian dikumpulkan oleh Sultan Taqdir Ali Syahbana yang dimuatnya dalam buku “Puisi Lama”.[28]

                                                     










[1] Prof. Dr. M. Sholihin, M. Ag., Prof. Dr. Rosihon Anwar, M. Ag., Ilmu Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia, 2008, hlm. 241.
[2] Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara, Surabaya : Al-Ikhlas, 1930, hlm. 10.
[3] Ibid, hlm. 15.
[4] Sholihin, Anwar, op.cit., hlm. 242
[5] Drs. Samsul Munir Amin, M. A., Ilmu Tasawuf, Jakarta: Terun Grafica, 2012, hlm.
[7]  Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia, 2010, hlm. 340.
[8]  Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara, Surabaya : Al-Ikhlas, 1930, hlm. 35.
[9]  Prof. Dr. M. Sholihin, M. Ag. Dan Prof. Dr. Rosihon Anwar, M. Ag., Ilmu Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia, 2008, hlm. 244.
[10]  Abdul Hadi W. M., Hamzah Al-Fansuri, Bandung : Mizan, 1995, hlm. 14.
[11]  Dr. Edward Jamaris dan Drs. Saksono Prijanto, Hamzah Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniri, Jakarata : Booklet budaya, 1995/1996, hlm. 1.
[12]  Ibid.;
[13]  Abdullah, op. cit., hlm. 36.
[14]  Abdul Hadi W. M. dan L. K. Ara, Hamzah Fanshuri Penyair Sufi Aceh, Jakarta : Lotkala, 1984, hlm. 6-7.
[15]  Abdullah, op. cit., hlm. 38.
[16]  Anwar, op. cit., hlm. 342.
[17]  Abdul Hadi W. M, Hamzah Fansuri: Risalah tasawuf dan Puisi-puisinya, (Bandung: Mizan, 1995), hal. 20-21.
[18]  Anwar, op. cit., hlm. 342-343.
[19]  Ibid,hlm. 343-344.
[20]  Solihin dan Anwar, op. cit. hlm. 248-249.
[21]  Djamaris, Prijanto, op. cit.,  hlm. 6-8.  
[22]  Anwar, op. cit., hlm. 341
[23]  Djamaris, Prijanto, op. cit.,  hlm. 9-11.  
[24]  T. Ibrahim Alfiyan, Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992, hlm. 8.
[28] Abdullah, op. cit., hlm.  37-38. 

























BAB III
PENUTUPAN
A.     Kesimpulan
Hamzah Fansuri adalah salah seorang tokoh sufi di Indonesia. Fansuri juga melahirkan banyak karya-karya yang berkaitan dengan tasawuf. Dari penjelasan yang sudah dikemukakan di makalah ini, bisa dapat diambil beberapa benang merah sebagai berikut,
1.      Tasawuf menjadi bagian penting dalam perkembangan Islam di Indonesia dengan bukti-bukti yang ada. Bahkan, orang Indonesia yang awalnya non-Islam bersedia masuk Islam karena tertarik dengan ajaran tasawuf.
2.      Salah satu ulama sufi Indonesia yang terkenal adalah Hamzah Fansuri.
3.      Waktu dan tempat Hamzah Fansuri dilahirkan masih belum diketahui dengan pasti, karena riwayat tentang Fansuri tidak dimasukkan ke dalam dua sumber penting sejarah Aceh, yaitu Hikayat Aceh dan Bustanus Salatin.
4.      Ulama berbeda pendapat tentang tempat kelahiran Hamzah Fansuri karena berbedanya penafsiran mereka terkait salah satu syair Hamzah Fansuri.
5.      Hamzah Fansuri adalah seorang ahli bahasa, yaitu bahasa Arab, bahasa Farsi, dan bahasa Melayu, seorang sufi dan seorang pembaharu Islam di Indonesia.
6.      Pemikiran-pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri banyak dipengaruhi oleh Abu Yazid Al-Busthami, Mansur Al-Hallaj, Fariduddin Attar, Junayd Al-Baghdadi, Ahmad Al-Ghazali, Jalal Al-Din Al-Rumi, Al-Maghribi, Mahmud Shabistari, Al-Iraqi dan Al-Jami. Di antara mereka Al-Busthami dan Al-Hallaj adalah idola Fansuri.
7.      Ajaran-ajaran Hamzah Fansuri di antaranya adalah yang berkaitan dengan Allah, hakikat wujud dan penciptaan, manusia, dan kelepasan. Pokok pemikiran Hamzah Fansuri yang terkenal adalah wujudiyah.
8.      Konsep wujudiyah Fansuri mendapat banyak  banyak tantangan dari ulama yang semasa dengannya, karena ajarannya dianggap menyimpang dari ajaran syari’at. Akan tetapi, Hamzah Fansuri bisa membuktikan bahwa ajarannya tidak menyimpang dengan mengarang beberapa syair.
9.      Hamzah Fansuri memiliki banyak karangan, baik yang berbentuk prosa maupun syair.  Karangan yang berbentuk prosa adalah Asrar al-‘Arifin fi Bayan ‘Ilmu Suluk wa al-Tauhid, Syarab al-‘Asyiqin, Al-Muntari, Al-Muhtadi, dan Ruba’I Hamzah Fansuri. Karangan yang berbentuk syair adalah Syair Burung Pingai, syair Dagang, Syair Sidang Fakir, Syair Ikan Tongkol, Syair Perahu, Syair Burung Pungguk, dan Thair al-‘Uryan.
B.     Saran
Penjelasan tentang Hamzah Fansuri, ajaran-ajarannya, dan karya-karyanya sudah dijelaskan dalam makalah ini. Dari adanya makalah ini diharapkan pembaca bisa mendapat pencerahan siapa Hamzah Fansuri, apa karya-karya, dan bagaiman ajaran-ajarannya, sehingga tidak ada salah pemahaman tenatang Hamzah Fansuri.





















DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Hawash, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Surabaya: Al-Ikhlas. 1930.
Anwar, Rosihon, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia. 2010.
Hadi W.M, Abdul, L.K, Ara, Hamzah Fansuri Sang Penyair Sufi  Aceh, Jakarta: Lotkala. 1984.
Djamaris, Edwar, Prijanto, Saksono, Hamzah Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniri, Jakarta: Bokklet Budaya. 1995.













Tag : makalah
0 Mayu kana' jhek rasarah jhek kun becah malolo tang blog rea mara komentari blog rea se ajudul "MAKALAH TASAWUF MODERN HAMZAH FANSURI"

Back To Top